Welcome to My Blog! Have a Nice Read ^^


Jumat, 07 Februari 2020

Sekarang Monik Cerita Tentang Saat Ini



Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, adalah buku yang ditulis oleh Marchella FP dan laris dipasaran. Kini dibuatkan film yang tayang di bioskop mulai dari tanggal 2 Januari 2020. Bukunya pun berisi quotes-quotes kalau dunia itu selalu baik-baik saja. Cocok buat yang butuh penyemangat hidup.

Mengawali 2020, gue menonton ini dengan harapan bisa membuat diri gue sembuh dan makin damai dengan diri sendiri. Nyobain CGV pertama di Samarinda, menjadi tempat gue buat nonton.

Di film akan beda dengan buku. Bercerita Awan sang tokoh utama beserta keluarga melalui pasang surut permasalahan yang dialami masing-masing. Fokus emang ke Awan dari dia lahir, pas kecil hingga dewasa. BTW, gue udah cerita sih di Instagram, tapi disini bakalan beda karena kisah keluarga awan dan pasang surut emosi yang dilalui akan dibahas satu persatu melalui perasaan gue.


sumber

Gue kenalin dulu karakter-karakter yang ada di film
Awan :Anak bungsu, seorang lulusan arsitektur.
Aurora : Anak tengah, seorang seniman. Kecilnya seorang atlet renang.
Angkasa : Anak sulung, bekerja menangani event bersama Lika, pacarnya.
Ayah (Fariz Narendra): Sosok ayah yang bekerja sebagai akuntan di perusahaan keuangan
Ibu (Ajeng) : Sosok Ibu Rumah Tangga

Yang akan gue cerita adalah sisi tiga bersaudara ini.

Sisi Awan
Dia adalah si bungsu yang selalu jadi pusat dunia, begitulah Aurora menarasikan. Mulai dari Awan kecil yang pernah keserempet motor dan ikutan les berenang bareng Aurora, orang tua terutama ayahnya selalu perhatiin. Hingga besar, ayahnya juga masih membantu Awan. Mulai dari gak jadi merayakan anniversary ayah ibu di restoran karena Awan gak ikut. pas di jalan, Ayah langsung memutarbalik mobil dan kembali ke rumah untuk merayakan di rumah bareng Awan sambil membantu mengerjain proyek maket Awan.

Masalah Awan saat dewasa lebih rumit. Awan dipecat dari tempat magang impiannya. Habis pulang dari magang, Awan diserempet motor hingga tangan kirinya harus di gips. Setelah itu, ia malah dipanggil kembali di tempat magang buat bekerja kembali. Saat tau ayahnya lah dibelakang dari semua itu, Awan marah. Ikut Angkasa ke tempat konser, Awan ketemu Kale. Kale merubah cara pandang hidup Awan supaya lebih siap dan berani menghadapi kehidupan. Ayah gak suka, tapi Awan gak peduli. Sampai pada akhirnya Awan menanyakan statusnya dengan Kale.

"Bahagia itu urusan masing-masing.." Ucap Kale.

Awan harus siap terpuruk untuk kesekiannya kalinya.

Sisi Aurora

Aurora punya bahasanya sendiri, begitulah Angkasa menarasikan. Aurora sudah cemerlang ketika remaja. Dia bakal dicanangkan menjadi atlet renang perwakilan sekolahnya. Tapi ayahnya hanya memerhatikan Awan dan meminta Aurora mengajari Awan berenang lebih baik. Aurora merasa tidak dihargai. Hingga puncaknya ia kecewa saat perlombaan kakinya kram tiba-tiba dan tidak bisa berenang lagi. Hingga dewasa, ia memilih menghindar di keluarga. Sibuk dengan studio seninya yang akan di pamerkan beberapa hari kedepan. Di hari pameran seninya, Ayahnya ribut dengan Awan. Aurora yang sudah memendam emosinya sejak lama, akhirnya marah dan mengusir keluarganya saat itu juga.

"Kalian sudah kehilangan aku begitu lama" Teriak Aurora saat keluarganya berantem.

Sisi Angkasa
Kakak terhebat sepanjang masa adalah Angkasa, Awan mengatakan tersebut dengan penuh bangga. Awan mungkin gak tau kalau sejak ia lahir, Angkasa sudah dikasih beban berat ke ayahnya untuk menjaga dia dan Aurora. Hingga remaja ia sering disalahkan kalau Awan celaka. Hingga dewasa hal itu masih ada. Sampai pacarnya Lika jengah. Lika selalu mengalah jika Angkasa selalu menomorsatukan keluarga, padahal dia masih punya diri sendiri untuk dicintai.

"Aku rela dinomorduakan kok mas.." Ujar Lika sambil menangis di mobil saat berangkat menuju pameran Aurora.

Apa Yang Gue Rasakan?

Okey, kenapa gue memulai tulisan ini dengan cerita Keluarga Narendra? Karena akan relate dengan hal yang gue sampaikan. Mungkin kalian pernah baca tulisan keresahan gue di postingan gliter atau quarter life crisis. Konflik mereka mungkin sederhana, gak serumit masalah keluarga gue. Melalui step-step bagaimana trauma itu terjadi dari kecil hingga muncul bom waktu ketika dewasa. Klise kalau menampilkan trauma berontak drugs, dugem ataupun pergaulan bebas. Awan? cuma berontak biasa dengan jalan-jalan seharian bersama kale-kale.

Mungkin gue bukanlah dari ketiga bersaudara tersebut. Ortu gue sekarang kerjanya berantem dari keuangan hingga masa lalu dari kedua belah pihak. Bahkan tanpa malunya didepan gue dan adik-adik gue. Kesel? banget.  Gue sebagai kakak pertama yang aslinya bukan pertama karena sebelumnya gue punya kakak, harus berperan sebagai kakak. Gue bertugas melindungi adik-adik gue jika ortu gue mulai begitu. Beban gue paling berat dituntut untuk menjadi contoh baik. Merasa malu jika adik-adik gue lebih baik.

"Moon, coba kamu tuh kayak adikmu kasih contoh bersikap lebih dewasa.."
"Ini (maksudnya gue) lebih dewasa adik-adiknya. Malah kayak anak terakhir bukan anak pertama.."

Ini toxic sih, gue jadi sebel sama kepribadian gue yang slengean sering childish gak jelas. Kadang sampai nangis sendirian mikirin diri sendiri aja. Kala ketahuan gini malah dimarahin balik. Gimana nggak makin sebel?! Rasanya seperti gue itu gak harus hidup.

Cerita kedua adik gue gak jauh beda. Pikpok yang sekarang sudah balik ke rumah. Makanya selain kerja di sebuah perusahaan kosmetik swasta, dia sibuk dengan menjadi pengabdi kucing. Nanti gue bahas juga kelakuan kucingnya di next postingan. Yang gue pikirkan Ipen. Fase remaja adalah pengakuan sisi dewasanya. Gue takut psikologis dia tidak baik-baik saja. Gue masih merasa, adik-adik gue masih ada harapan di mata kedua orang tua gue dibanding gue sendiri.

Masalah lain juga datang silih berganti. Mulai dari pertemanan hingga kuliah. Kuliah belum selesai.  Gue di Samarinda pontang-panting ngerjain apapun yang penting dibayar dan gak  ganggu skripsi. Doain ya para pembaca yang budiman tahun ini skripsi gue bisa selesai. Alasan kerja juga karena supaya gak merepotkan orang tua. Lagi-lagi, karena gue males dibandingkan sama masa lalu gue dulu. Makanya kalau sampe pada gak pengertian dengan keadaan gue, baikan gue gak mau ketemu lagi sama orang tersebut. Habis energi aja.

"Pelan-pelan, satu persatu..." -Kale (Fakboi)-

Masalah tidak seperti candi yang harus dikerjakan satu malam. Seperti kata barusan, gue tarik nafas pelan-pelan dan yakin semua akan baik-baik saja pada waktunya. Pikiran buruk hanya di pikiran, bahkan di luar ekspetasi pikiran. Kalau lelah, menghilang itu juga gapapa.

"...Ada waktu yang indah, tunggu saja..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen yang baik dan sesuai dengan pos ini ya. Karena komen kalian bisa menjadi masukan dari gue. No SARA, Porn, and Spam Please!!. Thank You :D